Senin, 30 April 2012

Budaya Sebagai Warisan Yang Melekat Pada Diri Setiap Manusia


BAB I

A.  LATAR BELAKANG
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
B.   TUJUAN
-          menambah wawasan para pembaca, untuk mengetahui tentang bagaimana budaya wonogiri serta warisan yang melekat  pada diri setiap manusia.

BAB II
ISI
Wonogiri berasal dari bahasa Jawa, Wono (hutan) dan Giri (pegunungan). Menggambarkan kondisi wilayah Wonogiri yang memang sebagian besar berupa sawah, hutan dan pegunungan
Tanggal 19 Mei 1741 merupakan hari penting bagi Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa. Sebab, pada hari itu beliau telah mendirikan pemerintahan sederhana di dusun Nglaroh, Pule, Selogiri. Hari itu tepat pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Raiul Awal tahun 1666 dengan candra sengkala Roso Retu Ngoyeg Jagad atau bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1741 dengan Surya Sangkala Kahutaman Sumebering Giri Linuwih. Pemerintahan di Nglaroh tersebut titik pagkal perjuangan panjang Raden Mas Said melawan pemerintahan kolonial Belanda sampai akhirnya berhasil mendirikan Praja Mangkunegaran dan menjadi Adipati dengan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aria Mangkunegoro I. 
Pada saat mendirikan pemerintahan bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa duduk di atas sebuah batu. Bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa mengucapkan ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah ’Kawula Gusti’ atau ’Pamoring Kawula Gusti’, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ikrar tersebut berbunyi ’Tiji Tibeh’, artinya Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Sedangkan pemerintahan bersemboyan pada Tri Darma, yaitu : mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangkrungkebi. 
Pada hari-hari selanjutnya, setiap mengadakan pertemuan dan perundingan dengan para pengikutnya, pangeran Sambernyawa selalu diatas batu terebut. Tempat untuk berunding tersebut nama Ngelar Roh, yang artinya memperluas wilayah dan jiwa (penduduk). 
Kata ngelar roh lama-kelamaan berubah menjadi Nglaroh dan sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama dusun Nglaroh. Sedangkan batu tempat Pangeran Sambernyawa duduk itu disebut sebagai watu gilang. 
Watu gilang, tersebut dipastikan sebagai titik pangkal perjuangan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said dan sekaligus titik awal lahirnya pemerintahan Wonogiri. Di tempat tersebut kini didirikan sebuah prasasti yang selain dimaksudkan untuk melestarikan makna sejarah tempat tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan masyarakat Wonogiri kepada KGPAA Mangkunegoro I atas kepahlawannya dalam usaha melawan ketidak adilan.
REOG di Wonogiri merupakan kesenian reog yang dikenal masyarakat Wonogiri sebagai reog Ponorogo. Adapun reog Ponorogo adalah teater rakyat yang biasa dipentaskan dalam acara-acara prosesi di tempat-tempat atau arena terbuka.[1] Walaupun kesenian ini sangat terkenal di daerah Ponorogo, tetapi pengaruhnya sampai ke seluruh dan di luar wilayah Jawa Timur. Salah satu daerah yang mendapat pengaruh kesenian reog Ponorogo adalah Wonogiri, Jawa Tengah. Jenis reog yang berkembang di daerah Wonogiri tidak hanya jenis reog Ponorogo, tetapi juga ada jenis reog yang lain, seperti: Reog Caplok, Jaran Dhor atau Jaran Senthewere, dan Jaran Kepang atau Jathilan. Pada reog Ponorogo, jathilan hanyalah merupakan salah satu bagian dari unsur tarian atau penokohan yang disajikan dalam pertunjukannya.


BAB III
PENUTUP

                Demikian yang dapat saya paparkan mengenai budaya wonogiri dan warisan yang melekat pada diri setiap manusia, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan tema penulisan ini.
Semga dengan tulisan yang saya buat bisa bermanfaat dan bisa mengenalkan budaya wonogiri

KESIMPULAN
Dari zaman ke zaman budaya sudah makin berubah mungkin budaya dahulu lebih mengikuti adat istiadat di budaya itu sendiri.setiap budayanya,keseniannya,bahasanya dan ciri khas lainnya masin kental akan adat itu tapi makin zaman dah berubah makin menghilang ciri khas tersebut
SARAN
Generasi baru selayaknya melestarikan setiap budaya yang ada di indonesia tidak dari budayanya sendiri saja.karena dengan melestarikan budaya indonesia maka akan tetap lestari
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.umy.ac.id/satriopujonggo/2011/11/17/apresiasi-seni-dan-budaya-reog-wonogiri/